Presiden Prabowo Jangan Pura-pura Tidak Tahu, Negara Tidak Boleh Diam

Peloporsumut.com, Jakarta– Sudah hampir satu tahun sejak hilangnya IPTU Tomi Samuel Marbun, Kasat Reskrim Polres Teluk Bintuni, Papua Barat, dalam operasi resmi kepolisian pada Desember 2024. Namun hingga kini, tidak ada kejelasan nasib, tanggung jawab, ataupun hasil penyelidikan yang terbuka dan akuntabel, “Rabu (5/11/2025).

 

Peristiwa ini bukan sekadar hilangnya seorang perwira polisi, tetapi potret suram gagalnya negara menjamin keselamatan aparatnya sendiri. Dalam negara hukum, keadilan dan kebenaran tidak boleh tunduk pada kekuasaan atau kepentingan institusional.

 

SUARA DARI FREDI MARBUN: “NEGARA TIDAK BOLEH DIAM”

 

Fredi Marbun, pegiat hak asasi manusia dan aktivis masyarakat, mengecam keras sikap diam institusi negara terhadap kasus ini. Ia menilai, hilangnya Iptu Tomi adalah indikator serius rusaknya sistem perlindungan hukum di tubuh kepolisian dan lemahnya tanggung jawab negara terhadap aparatnya sendiri.

 

“Sudah hampir satu tahun seorang polisi hilang dalam tugas resmi, dan negara tetap bungkam. Ini bukan hanya pelanggaran prosedur, tapi pelanggaran nurani,” tegas Fredi Marbun.

 

Fredi menilai, pembiaran terhadap kasus ini sama artinya dengan melegalkan praktik impunitas. Negara, kata dia, tidak hanya lalai melindungi rakyat, tetapi juga gagal melindungi aparat yang bekerja di bawah sumpah dan seragam negara.

 

“Jika seorang perwira polisi bisa hilang tanpa jejak, tanpa bukti, tanpa kejelasan, dan tanpa pertanggungjawaban, maka siapa yang bisa percaya bahwa hukum masih hidup di negeri ini?” ujarnya.

 

KRONOLOGI DAN KEJANGGALAN KASUS

 

Berdasarkan dokumen dan informasi lapangan:

 

1. Pada 12–15 Desember 2024, Kapolres Teluk Bintuni, AKBP Choiruddin Wahid, memerintahkan Iptu Tomi memimpin operasi senyap terhadap seorang DPO KKB di Distrik Moskona Barat.

 

2. 18 Desember 2024, Iptu Tomi dikabarkan hanyut saat penyeberangan sungai. Namun, kesaksian warga setempat justru mendengar dua hingga tiga kali suara tembakan sebelum hilangnya korban.

 

3. Barang-barang pribadi seperti pistol, rompi, ponsel, dan pakaian dinas dikembalikan dalam kardus tanpa penjelasan.

 

4. Operasi pencarian dilakukan asal-asalan tanpa anjing pelacak, tanpa olah TKP, dan tidak pernah menyisir lokasi terakhir korban terlihat.

 

5. Terdapat dugaan penawaran proyek Rp4 miliar kepada keluarga korban dari pihak Polres sebagai upaya membungkam.

 

Fredi menilai seluruh rangkaian ini memperlihatkan adanya indikasi pelanggaran HAM dan obstruction of justice yang sistematis.

 

“Ada sesuatu yang ditutup-tutupi. Polri sebagai institusi penegak hukum justru menolak membuka fakta, seolah ada pihak yang harus dilindungi. Ini sangat berbahaya,” ujar Fredi.

 

TUNTUTAN PUBLIK DAN DESAKAN TERBUKA

 

Sebagai aktivis HAM, Fredi Marbun menyerukan langkah-langkah tegas kepada seluruh pemangku kekuasaan:

 

1. Presiden Prabowo Subianto agar segera membentuk Tim Pencari Fakta Independen (TPFI) di bawah koordinasi Komnas HAM dan lembaga sipil, untuk menelusuri secara transparan hilangnya IPTU Tomi Samuel Marbun.

 

2. Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo agar membuka kembali penyelidikan dan memeriksa seluruh jajaran yang terlibat, termasuk Kapolres Teluk Bintuni, Kabag Ops, dan Kanit Resmob.

3. Menteri Hukum dan HAM RI agar meninjau dugaan pelanggaran HAM berat dan kelalaian struktural yang menyebabkan hilangnya nyawa aparat negara.

4. Komisi III DPR RI agar menjalankan fungsi pengawasan dan menuntut keterbukaan penuh dari Polri.

 

“Presiden tidak boleh berpura-pura tidak tahu. Kapolri tidak boleh membiarkan ketidakadilan menjadi tradisi. Menteri HAM tidak boleh diam di tengah dugaan pelanggaran kemanusiaan,” tegas Fredi.

 

KEADILAN UNTUK IPTU TOMI, DEMI MARTABAT NEGARA

 

Fredi Marbun menegaskan, hilangnya Iptu Tomi bukan sekadar kasus internal Polri, melainkan tragedi kemanusiaan yang menodai integritas negara hukum.

Negara, katanya, wajib mempertanggungjawabkan setiap nyawa yang hilang dalam tugas, baik rakyat biasa maupun aparat negara.

 

“Negara tidak boleh kehilangan akal sehat. Kita sedang berbicara tentang seorang manusia, seorang perwira yang mengabdi, yang hilang dalam tugas resmi. Diam berarti ikut bersalah,” ucap Fredi.

 

Ia menambahkan, bila kasus ini terus dibiarkan tanpa penyelesaian, maka publik akan kehilangan kepercayaan terhadap keadilan itu sendiri.

 

“Keadilan bagi Iptu Tomi Samuel Marbun adalah simbol harapan rakyat terhadap hukum. Bila hukum gagal membela aparatnya sendiri, maka siapa lagi yang bisa berharap?” tutur Fredi dengan nada tegas.

 

SERUAN TERBUKA UNTUK PRESIDEN DAN KAPOLRI

 

Fredi menutup pernyataannya dengan seruan moral yang keras:

 

“Saya menyerukan kepada Presiden Prabowo Subianto, Kapolri Jenderal Listyo Sigit, dan Menteri HAM: jangan biarkan kasus ini terkubur dalam diam.

Bangun keberanian untuk menegakkan kebenaran. Karena diam terhadap ketidakadilan adalah bentuk pengkhianatan terhadap kemanusiaan itu sendiri.”

 

(Red/Tim).

POLISI IPTU TOMI SAMUEL MARBUN HILANG, KEMANA MENTERI HAM DAN KAPOLRI?

 

Presiden Prabowo Jangan Pura-pura Tidak Tahu, Negara Tidak Boleh Diam

Peloporsumut.com, Jakarta- Sudah hampir satu tahun sejak hilangnya IPTU Tomi Samuel Marbun, Kasat Reskrim Polres Teluk Bintuni, Papua Barat, dalam operasi resmi kepolisian pada Desember 2024. Namun hingga kini, tidak ada kejelasan nasib, tanggung jawab, ataupun hasil penyelidikan yang terbuka dan akuntabel, “Rabu (5/11/2025).

Peristiwa ini bukan sekadar hilangnya seorang perwira polisi, tetapi potret suram gagalnya negara menjamin keselamatan aparatnya sendiri. Dalam negara hukum, keadilan dan kebenaran tidak boleh tunduk pada kekuasaan atau kepentingan institusional.

SUARA DARI FREDI MARBUN: “NEGARA TIDAK BOLEH DIAM”

Fredi Marbun, pegiat hak asasi manusia dan aktivis masyarakat, mengecam keras sikap diam institusi negara terhadap kasus ini. Ia menilai, hilangnya Iptu Tomi adalah indikator serius rusaknya sistem perlindungan hukum di tubuh kepolisian dan lemahnya tanggung jawab negara terhadap aparatnya sendiri.

“Sudah hampir satu tahun seorang polisi hilang dalam tugas resmi, dan negara tetap bungkam. Ini bukan hanya pelanggaran prosedur, tapi pelanggaran nurani,” tegas Fredi Marbun.

Fredi menilai, pembiaran terhadap kasus ini sama artinya dengan melegalkan praktik impunitas. Negara, kata dia, tidak hanya lalai melindungi rakyat, tetapi juga gagal melindungi aparat yang bekerja di bawah sumpah dan seragam negara.

“Jika seorang perwira polisi bisa hilang tanpa jejak, tanpa bukti, tanpa kejelasan, dan tanpa pertanggungjawaban, maka siapa yang bisa percaya bahwa hukum masih hidup di negeri ini?” ujarnya.

KRONOLOGI DAN KEJANGGALAN KASUS

Berdasarkan dokumen dan informasi lapangan:

1. Pada 12–15 Desember 2024, Kapolres Teluk Bintuni, AKBP Choiruddin Wahid, memerintahkan Iptu Tomi memimpin operasi senyap terhadap seorang DPO KKB di Distrik Moskona Barat.

2. 18 Desember 2024, Iptu Tomi dikabarkan hanyut saat penyeberangan sungai. Namun, kesaksian warga setempat justru mendengar dua hingga tiga kali suara tembakan sebelum hilangnya korban.

3. Barang-barang pribadi seperti pistol, rompi, ponsel, dan pakaian dinas dikembalikan dalam kardus tanpa penjelasan.

4. Operasi pencarian dilakukan asal-asalan tanpa anjing pelacak, tanpa olah TKP, dan tidak pernah menyisir lokasi terakhir korban terlihat.

5. Terdapat dugaan penawaran proyek Rp4 miliar kepada keluarga korban dari pihak Polres sebagai upaya membungkam.

Fredi menilai seluruh rangkaian ini memperlihatkan adanya indikasi pelanggaran HAM dan obstruction of justice yang sistematis.

“Ada sesuatu yang ditutup-tutupi. Polri sebagai institusi penegak hukum justru menolak membuka fakta, seolah ada pihak yang harus dilindungi. Ini sangat berbahaya,” ujar Fredi.

TUNTUTAN PUBLIK DAN DESAKAN TERBUKA

Sebagai aktivis HAM, Fredi Marbun menyerukan langkah-langkah tegas kepada seluruh pemangku kekuasaan:

1. Presiden Prabowo Subianto agar segera membentuk Tim Pencari Fakta Independen (TPFI) di bawah koordinasi Komnas HAM dan lembaga sipil, untuk menelusuri secara transparan hilangnya IPTU Tomi Samuel Marbun.

2. Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo agar membuka kembali penyelidikan dan memeriksa seluruh jajaran yang terlibat, termasuk Kapolres Teluk Bintuni, Kabag Ops, dan Kanit Resmob.
3. Menteri Hukum dan HAM RI agar meninjau dugaan pelanggaran HAM berat dan kelalaian struktural yang menyebabkan hilangnya nyawa aparat negara.
4. Komisi III DPR RI agar menjalankan fungsi pengawasan dan menuntut keterbukaan penuh dari Polri.

“Presiden tidak boleh berpura-pura tidak tahu. Kapolri tidak boleh membiarkan ketidakadilan menjadi tradisi. Menteri HAM tidak boleh diam di tengah dugaan pelanggaran kemanusiaan,” tegas Fredi.

KEADILAN UNTUK IPTU TOMI, DEMI MARTABAT NEGARA

Fredi Marbun menegaskan, hilangnya Iptu Tomi bukan sekadar kasus internal Polri, melainkan tragedi kemanusiaan yang menodai integritas negara hukum.
Negara, katanya, wajib mempertanggungjawabkan setiap nyawa yang hilang dalam tugas, baik rakyat biasa maupun aparat negara.

“Negara tidak boleh kehilangan akal sehat. Kita sedang berbicara tentang seorang manusia, seorang perwira yang mengabdi, yang hilang dalam tugas resmi. Diam berarti ikut bersalah,” ucap Fredi.

Ia menambahkan, bila kasus ini terus dibiarkan tanpa penyelesaian, maka publik akan kehilangan kepercayaan terhadap keadilan itu sendiri.

“Keadilan bagi Iptu Tomi Samuel Marbun adalah simbol harapan rakyat terhadap hukum. Bila hukum gagal membela aparatnya sendiri, maka siapa lagi yang bisa berharap?” tutur Fredi dengan nada tegas.

SERUAN TERBUKA UNTUK PRESIDEN DAN KAPOLRI

Fredi menutup pernyataannya dengan seruan moral yang keras:

“Saya menyerukan kepada Presiden Prabowo Subianto, Kapolri Jenderal Listyo Sigit, dan Menteri HAM: jangan biarkan kasus ini terkubur dalam diam.
Bangun keberanian untuk menegakkan kebenaran. Karena diam terhadap ketidakadilan adalah bentuk pengkhianatan terhadap kemanusiaan itu sendiri.”

(Red/Tim).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *